Jumat, 25 April 2008

Fapet di Waktu Senja

Saat senja datang, saya tidak biasanya memandangi langit dari bangunan sekre dan menatapi bangunan warna cream yang konon menjadi saksi lahirnya orang-orang besar yang kini menjadi orang yang berpengaruh baik itu di kampus maupun di luar kampus. Cahaya yang kemegaan itu mulai nampak, sudah lama menghilang, sejak setahun yang lalu saya menatapinya bersama sahabat saya yang kini telah menjadi seorang tamtama. Dahulu, di tempat yang disebut dengan kuburan batu ini, saya masih ingat betapa ramainya kegiatan berlangsung di sana, dari mulai “Allez cuisine”, “latihan pentas”, sampai “pembentukan panitia kejurda”.

Saya beranjak dari duduk termangu, melangkah kecil ke hall depan gedung tersebut, yang dulu berada etalase yang ramai dengan barang-barang siap saji dan beberapa meja serta bangku panjang yang menjadi saksi berkumpulnya para organisatoris, berkumpulnya orang-orang yang saling bertukar pemikiran ilmiah, mengerjakan tugas dan laporan, menunggu kekasihnya sepulang praktikum, hingga latihan debat. Saya memandang ke halaman depan dan nampak sekali tetanaman yang menghiasi area parkir khusus penguasa tunggal fapet ini. Konon, samar-samar seorang sepuh kampus yang getol dengan mahasiswa dan kini merupakan tahun terakhir masa baktinya sebagai “teman curhat” mahasiswa baik di bidang mahasiswa maupun masalah dana dan ijin mengijin, pernah berkata bahwa ada kenangan manis dari angkatan-angkatan lama di sana. Saya pun kembali mengenang masa lalu saat pertama kali saya menjadi menyandang status saya sebagai mahasiswa dari lengsernya status pelajar SMA dua tahun lalu. Dan saya pun menyaksikan bagaimana seremonial kegiatan demi kegiatan hasil kreatifitas mahasiswa mulai dari kegiatan pencinta alam, kegiatan penyambutan mahasiswa maupun anggota baru, kegiatan karya ilmiah, panggung band, pentas, hingga demo mahasiswa menolak yang katanya merupakan ketimpangan dari kebijakan birokrasi. Saya pun menjadi saksi bagaimana sebuah sepeda motor terpaksa berpindah tempat dari basement ke lantai tiga karena melanggar “surat sakti” yang tertampang di dinding tempat tidurnya kendaraan sang “Yang di Pertuan Agungkan”~ suatu hal yang menggelitik bagi saya.

Berada di dalam gedung, saya mulai melihat ruangan-ruangan yang gelapnya samar-samar menjadi terang karena pantulan sinar benda kecil yang dinamakan lampu yang setiap bulan Februari menerangi kampus ini. Hanya saja, sinarnya sudah mulai redup, dan beberapa saklar sudah mulai enggan berada pada tempatnya. Di halaman yang berbentuk segi empat yang hampir simetris itu, saya masih ingat, dulu tidaklah secerah sekarang, rada gelap dan sumpek. Namun sekarang tidaklah seperti dahulu, rada gersang dan burung-burung enggan berkicau di sore hari. Di sana pula, di tengah halaman, saya menjadi saksi para mahasiswa berdiskusi, para pelakon teater latihan, ada pula yang menjalankan kegiatan praktikum sebagai seorang penyuluh, dan beberapa hal penting dalam hidup saya adalah bahwa di tempat itu berkumpulah mahasiswa yang turut menyumbangkan pemikirannya untuk dasar kegiatan penyambutan mahasiswa baru. Selama dua tahun di situlah saya berkenalan dengan organisatoris-organisatoris yang peduli dengan kampus, yang kini entah dimana rimbanya, hanya segelintir yang masih berpapasan dengan saya.

Saya menghela napas, sambil mendengarkan sayup sayup adzan maghrib, lalu saya memandangi ruang-ruangan yang diam membisu. Dulu, saya kenal betul bahwa ruang seminar 2 adalah ruang andalan, kemudian disusul ruang 306-307 yang seolah-olah keramat bagi teman-teman aktifis. Ruangan-ruangan tersebut seperti berbisik pada saya bahwa ternyata ada suatu benturan yang sebenarnya tidak perlu, antara ruang laboratorium dengan yang hanya sekadar ruang-ruang kelas. Ruang-ruang kelas tersebut seperti meraung lagaknya, menangisi para organisatoris yang telah menjadi alumnus, menangis karena mereka telah kehilangan teman melampiaskan suka dukanya, teman-teman yang mewarnai kampus ini lebih dari sekadar bangunan cokelat “sapi bali” tua bertingkat tiga ini, menangisi para mahasiswa yang hanya datang untuk mencorat coret dinding dengan jawaban ujian ataupun tempat duduk dengan curhatan yang tidak perlu dan bukan mengedepankan keilmiahan. Namun apa daya, saya hanya bisa menggerutu dalam hati, “mereka lebih tahu tentang dirinya daripada saya”…

Fapet di saat senja ini memang berbeda. Apakah mungkin karena senja? Saya pun tidak tahu. Yang saya tahu, sekarang sudah hampir tiga tahun saya berada di sini. Saya menikmati kampus ini, merasa enjoy dengan para civitas akademika yang ada, dan kegiatan yang ada di sini. Tapi entah mengapa saya kadang merasa sedih, bukan lantaran gedung yang mulai direnovasi karena mulai bocor dan alasan perbaikan manajemen, tapi karena gedung ini seperti kehilangan suara-suara para maestro yang menjadi jiwanya. Apakah ini tandanya komidi akan segera berakhir? Ataukah ini merupakan akhir dari keseluruhan babak pementasan yang sedang berjalan sekarang ini? Hmm, yang hanya saya yakini, perlahan tapi pasti saya pun akan menjadi sosok bayangan yang pernah berada di sini bersama dengan teman-teman yang pernah menorehkan namanya di cabinet arsip kemahasiswaan. Setidaknya ada foto mereka di lembaran kartu puas yang masih tersimpan rapi di laboratorium.

Namun sebelum itu terjadi, saya hanya ingin berharap esok sebelum saya terakhir kali menginjakkan kakinya di sini, matahari yang sinarnya indah ini masih menyentuh sudut-sudut sempit ruangan ini, dan mendengar keriuhan teman-teman yang sedang bermain basket di sore hari, melihat anak-anak di sekre sebelah selatan maupun utara berkumpul bersama di areal lapangan belakang beralaskan karpet membicarakan masa depan kampus, anak-anak seni berlatih bersama, dan masih banyak lagi. Sungguh, bila hal itu terjadi, saya akan lebih gembira dan lebih merasa senang daripada bersenang-senang karena lulus dengan ipk cumlaude namun ilmu yang dipunyai hanyalah layaknya pohon tidak berbuah, dan kehidupannya hanyalah bagaikan tumbuhan yang tumbuh soliter di gurun sahara. Hingga pada hari itu, akan saya ukir pada prasasti hidup saya, “keluarga mahasiswa yang tahan banting itu akan abadi selamanya…. Fapet UNSOED tidak akan pernah redup, meski harus mengerucut menjadi satu……. atau hanya dalam sejarah…..”

Perjalanan merenung ini saya akhiri di depan bangunan baru di depan kantin yang katanya sebagai bentuk “embrio” badan usaha yang mandiri bagi fakultas. Ternyata, harapan itu masih ada! Melihat bangunan sekre yang telah lama sekali berada di sana, dengan renovasi atap dan beberapa bagian dari sumbangsih para alumni yang masih peduli terhadap keberlangsungan organisasinya. Saya hanya tersenyum puas dan berharap, “andaikan angkatan muda mengerti bagaimana angkatan tua berjerih payah membangun dan menghidupkan kampus….. pasti mereka akan menjadi orang yang lebih hebat lagi daripada Soe Hoek Gie yang mereka kagumi sekarang ini…..”

Ganbarimasu! Otsukaresama-deshita!

Opini oleh: Yustiana Perwira
Anggota DLM Unsoed

Tidak ada komentar: